Budak kulit Putih
KORBAN BAJAK LAUT BARBARIAN
Lebih dari
sejuta dan kemungkinan mencapai 1,25 juta orang Eropa yang dijadikan budak di
sepanjang pantai Afrika Utara.
Barbarian
yang mayoritas penduduknya bersuku nomaden di Afrika Utara ini, merupakan tentara
laut partikelir ysng muncul semenjak jatuhnya Spanyol, ditambah membeludaknya
pengungsi Muslim dari Spanyol membuat aktivitas bajak laut menjadi satu – satunya jalan keluar. Apalagi, sasaran
mereka adalah kapal – kapal Eropa yang kala itu dianggap sebagai musuh kerajaan
Islam.
Hal yang paling utama dari para pembajak ialah
bonus yang didapatkan selain harta rampasan, yaitu para penumpang kapal yang
selanjutnya akan dijual sebagai budak di Afrika Utara.
Aktifitas pembajak laut ini, awalnya hanya kapal
– kapal sepanjang di Laut Tengah kemudian merambah sampai ke wilayah Inggris.
Berdasarkan
catatan Inggris, tak kurang dari 466 kapal telah dibajak Barbarian selama 1609
sampai 1616. Pada 1625, ada lebih dari 27 kapal dibajak di dekat Plymouth.
Sejarawan Inggris abad ke-18 Joseph Morgan menyebutnya era keemasan bajak laut Babarian
di Inggris.
Berdasarkan
catatan 1682, yang diperoleh Morgan, dari 160 kapal yang dibajak antara 1677
sampai 1680, diperkirakan membawa 7000-9000 awak kapal penumpang, baik pria
maupun wanita, yang akhirnya dijadikan budak.
Karena
budak merupakan bisnis yang menggiurkan, sasaran para bajak laut ini tak hanya
kapal – kapal yang berlayar di laut tetapi kampung – kampung sepanjang pantai
Mediterania wilayah Eropa. Seperti Spanyol, dan Italia.
Para
bajak laut itu, mendarat di pantai yang sepi pada malam hari, menyerbu
perkampungan dan menculik warga serta langsung pergi secepat kilat.
Profesor sejarah di Ohio State University Robert Davis dalam bukunya berjudul Christian Slaves, Muslim Masters: White
slavery in the Mediteranean the Barbary Coast, and Italy, 1500 – 1800
membuat metodologi unik untuk menghitung jumlah budak kulit putih di Afrika
Utara.
Beliau
mengungkap fakta yang mencengangakan, diperkirakan lebih dari 1juta orang Eropa
dijadikan budak di Afrika Utara antara tahun 1530 s/d 1780.
Catatan
sejarah biasanya menghitung sampai puluhan ribu saja.
“Menjadi
budak adalah risiko nyata yang dialami setiap orang yang berlayar di Laut
Tengah atau warga yang tinggal di tepi pantai Italia, Spanyol, Prancis, dan
Portugal bahkan sampai ke Inggris da Islandia” papar Davis.
Lalu, mengapa sejarah jutaan budak kulit putih tak banyak muncul
dalam kajian sejarah?
Menurut Davis, isu
ini memang diabaikan saat itu, karena tidak sesuai dengan agenda umum peradaban
Eropa yang seharusnya digambarkan sebagai bangsa penakluk dan kolonialis.
Faktor lain adalah
tidak adanya catatan jumlah pasti warga Eropa yang menjadi budak di Afrika
Utara. Baik kerajaan Eropa maupun Afrika Utara tidak punya data pasti mengenai
jumlah warga yang diculik atau jumlah budak di wilayahnya.
Bukan Soal Ras atau Agama
Budak tetaplah budak tak peduli warna kulit, ras dan agama.
Nasib budak kulit putih di Afrika Utara tidak akan jauh berbeda dengan budak
kulit hitam di Amerika.
Bila budak di Amerika harus bertahan dalam kerja keras di
perkebunan, budak kulit putih yang ditangkap di Barbarian harus bekerja dalam
bidang konstruksi, tambang, atau paling sial menjadi pendayung kapal galey
bajak laut.
Banyak budak yang akhirnya beralih ke agama Islam. Perempuan
Eropa yang dijadikan harem juga akhirnya beralih agama agar tetap bisa bersama
anak mereka yang dibesarkan sebagai Muslim.
Ternyata budak di Afrika Utara tak selalu kulit putih, bisa
hitam, cokelat, Katolik, Protestan, Ortodoks, Yahudi, bahkan Muslim.
Ini membuktikan anggapan bahwa perbudakan selalu terkait dengan
isu rasial terkait perbudakan di Amerika.
Di Afrika Utara, tidak ada identitas rasial maupun agama yang
bisa menentukan apakah orang itu layak menjadi budak atau tidak. Ini sebatas kesialan nasib.
Sumber : koran republika